KLIK IKLAN YA, PLEASE

Al Farabi

A. RIWAYAT HIDUP AL FARABI
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nashar bin Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Unzalagh Al Farabi. Beliau termasuk tokoh filsafat yang terbesar di dunia Islam. Beliau lahir di suatu kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk kawasan Turkistan. Lahir pada tahun 257 H atau 870 M, dari ayah seorang perwira berkebangsaan Parsi dan ibu yang berkebangsaan Turki. Beliau meninggal tahun 339 H atau 950M.

Sejak kecil sudah terlihat bakatnya dalam bidang bahasa. Konon beliau dapat bebicara dalam tujuh puluh macam bahasa, namun yang pasti dia mampu menguasai secara penuh empat bahasa, yaitu Arab, Persia, Turki dan Kurdi. Pada usia empat puluh tahun pergi ke kota Baghdad yang pada masa itu merupakan ibu kota ilmu pengetahuan, dan berguru pada ilmuwan Kristen Nastura terkenal, yaitu Abu Bisyir Matta bin Yunus seorang penerjemah karya-karya tulis Plato dan para pemikir Yunani yang lain. Belum puas dengan apa yang didapat, beliau berguru lagi pada orang Kristen yang lain, yaitu Yuhana bin Heilan yang bertempat di Harran, sebuah kota sebagai salah satu pusat kebudayaan Hellenisme di Asia Kecil, pada masa pemerintahan Khalifah Abbasyiah Muqtdir. Kemudian belajar ilmu bahasa, logika (manthiq), ilmu pasti, kedokteran dan musik dari guru-guru lain, diantaranya Abu Bakar bin Siraj.

Al Farabi hidup pada zaman kekuasaan Abbasyiah yang sedang diguncang oleh berbagai gejolak, pertentangan dan pemberontakan. Beliau lahir pada masa pemerintahan Khalifah Mu’tamid dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Muti’, suatu periode paling kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu timbul banyak macam tantangan, bahkan pemberontakan, terhadap kekuasaan Abbasyiah dengan berbagai motif, diantaranya: agama, kesukuan dan harta. Banyak anak-anak raja dan penguasa-penguasa lama berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekayaan nenek moyangnya, khususnya orang-orang Persia dan Turki. Mereka mencoba mencapai maksudnya dengan merongrong wibawa khalifah dan bekerja bersama dengan kelompok Syiah , keturunan Ali bin Abi Thalib yang beranggapan lebih lebih berhak memerintah dunia Islam dari pada keturunan Abbas. Situasi politik menjadi lebih kuat lagi dengan menghilangnya Imam Muhammad Al Mahdi (Imam XII dari Syiah Imamiyah).

Mungkin dikarenakan situasi perpolitikan seperti yang demikian dan juga karena perkenalannya dengan karya-karya tulis pemikir Yunani seperti Plato dan Aristoteles, Al Farabi merasa terpanggil untuk mencari pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan ideal yang sebelumnya lebih sering waktunya ia gunakan untuk berkhalwat, menyendiri dan merenung. Kenyataannya bahwa Al Farabi dalam hidupnya tidak dekat dengan penguasa dan tidak menduduki salah satu jabatan pemerintahan, di satu pihak merupakan keuntungan tetapi dilain pihak merupakan kerugian. Dianggap mempunyai keuntungan karena Al Farabi akan lebih mempunyai “kebebasan” dala berfikir tanpa harus berusa menyesuaikan gagasannya dengan keadaan politik yang ada. Dianggap sebagai kerugian karena beliau tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan dan juga untuk menguji kebenaran teorinya dengan kenyataan-kenyataan keadaan politik yang tengah terjadi pada zamannya.

Setelah hidup selama 30 tahun di Baghdad, selanjutnya pada tahun 940 M (330 H) beliau mendapat undangan dari Ali bin Hamdan yang bergelar Saifuddaulah di Aleppo (Halb). Di istana Saif Ad-Daulah ia mendapat kedudukan yang mulia sebagai seorang filosof. Kemudian ia hidup berpindah-pindah di beberapa kota Syam dan akhirnya menetap di Damaskus. Di sanalah beliau lebih banyak mendapat ilham untuk menulis buku-buku filsafatnya dan disana pulalah ia menghabiskan usianya dalam umur 80 tahun.
Di antara karangan-karangan beliau ialah: 1.Aghradlu Ma Ba’da at-Thabi’ah.2.Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain (Mempertemukan Pendapat Kedua Filosof: Maksudnya Plato dan Aristoteles).3.Tahsil as-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan).4.‘Uyun ul-Masail (Pokok-pokok Persoalan).5.Ara-u Ahl-il Madinah al-Fadlilah (Pikiran-pikiran Penuduk Kota Utama – Negeri Utama).6.Ih-sha’u al-Ulum (Statistik Ilmu).

B. DASAR PEMIKIRAN POLITIK AL FARABI
Untuk pembentukan karakteristik masyarakat Madinah Al-Fadhilah yang melek politik, peraturan, undang-undang, dan moral, Al-Farabi menitik beratkan kepada fungsi dan peran pendidikan. Ia mengatakan bahwa : “ seorang raja ( pemimpin ) adalah pendidik dan pengajar umatnya, sebagaimana kepala rumah tangga yang berperan sebagai pendidik pengajar anggota keluarga ”.
Maksud dari tamsil yang digunakan Al-Farabi dalam pendidikan ini adalah sebuah sistem yang bergerak secara dinamis. Sistem pengajaran yang mampu mengatur dan merapikan lembaga-lembaga pendidikan beserta unit-unitnya.
Al-Farabi menekankan sistem ini berdasarkan profesi para pengajar. Masyarakat yang meninginkan pendidikan secara sukarela ditangani oleh para pendidik khusus. Demikian juga masyarakat yang perlu pendidikan namun enggan untuk didik, maka pemimpin memaksa mereka untuk dididik oleh para pendidik yang memang sudah disiapkan untuk menghadapi tipe-tipe orang yang harus dididik secara paksa.
Pendidikan bagi Al-Farabi memegang kunci utama. Sebab tanpa pendidikan, tujuan utama yaitu menggapai kebahagiaan ( As-Saadah ) akan sulit terwujud. Itu sebabnya, bagi Al-Farabi seorang pemimpin harus benar-benar bisa memilih para pengajar handal, yang menurutnya secara kodrati tidak dimiliki semua orang.
Oleh karenanya Al-Farabi juga membayar jasa-jasa dengan imbalan materi bagi orang-orang yang “berprofesi” sebagai pendidik ilmu umum dan penyuluh akhlak masyarakat. Para pendidik, lebih-lebih para penyuluh, tidak mampu menghasilkan barang yang bisa diganti dengan uang. Mereka seringkali tidak punya waktu untuk bekerja menghasilkan materi.
Barangkali para penyuluh akhlak ini disemisalkan dengan Ahlu Suffah pada masa Rasulullah Saw. Ahlu Suffah kurang lebih berjumlah 300 orang. Mereka intens memperdalam ilmu dan beribadah. Namun demikian mereka juga terlibat dalam kegiatan sosial dan jihad. Banyak diantara mereka yang syahid dimedan perang, diantaranya adalah Syafwan bin Baida, Zaid bin Khattab, Khubaib bin Yasaf dsb. Hanya saja secara ekonomi mereka sangat kekurangan. Sehingga tak jarang diantara mereka ketika sedang sholat tiba-tiba terjatuh karena lemah fisik. Mereka tidak pernah meminta-minta. Rasulullah Saw dan para dermawanlah yang acapkali menopang kehidupan ekonomi mereka. Seperti, jika ada makanan, mengajak makan bersama.
Para Ahlu Suffah tidak pernah dituntut untuk bekerja lebih, karena mereka hakekatnya “pelestari” ilmu-ilmu yang diberikan Rasulullah Saw. Perhatian besar mereka terhadap ilmu seringkali tidak memberikan ruang yang cukup untuk sekedar bekerja mencari penghidupan. Sehingga membutuhkan uluran tangan para dermawan.

Suatu hal yang tak jauh beda dengan para penyuluh dan pengawal moral agama pada Madinah Al-Fadhilah milik Al-Farabi.

Dengan demikian, Al-Farabi menilai bahwa seorang pemimpin, selain pengatur juga seorang pendidik yang handal. Karena ia tidak hanya mendelegasikan kepada orang-orang profesional dibidangnya, akan tetapi ia juga ditutut untuk memahami dunia pendidikan guna mengatur sistem bagi para pendidik. Jadi, seorang pemimpin sejatinya adalah juga seorang pendidik dalam skala yang lebih luas

Al Farabi adalah seorang filosof Islam pertama yang sangat sistemais dalam membangun dasar-dasar Neoplatonisme Islam. Tiga bidang studi yang memikat hati Al Farabi ialah logika, flsafat dan politik. Selain dari pendidikan dan bakat yang dimilikinya, lingkungan juga turut menentukan jalan fikirannya. Ketika Al Farabi hidup dunia Islam sudah maju dengan pesat, baik dalam lapagan ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Dalam ilmu keagamaan telah timbul mazhab-mazhab fiqih dan aliran-aliran teologi, begitu juga dengan aliran-aliran politik. Demikian juga dengan perkembangan ilmu filsafat dan adanya kajian-kajian ilmiah, lebih-lebih dengan adanya Baitul-Hikmah.
Gagasan membangun masyarakat muslim yang ideal dalam sebuah negara atau pemerintahan telah diusung oleh banyak pemikir Islam. Namun agaknya, konsep Madinah al-Fadhilah yang pernah ditawarkan oleh Filsuf Besar Islam Al-Farabi – dalam batas tertentu - lebih relevan untuk dikaji ulang dewasa ini.

Setidaknya ada dua alasan yang melatarbelakangi relevansi kaji-ulang gagasan Al-Farabi ini :
Pertama, Al-Farabi adalah tokoh cendikiawan muslim yang berupaya mengawinkan produk Timur ( Islam ) dan Barat. Ide-ide cemerlang Al-Farabi tentang politik kenegaraan didasarkan kepada sinergi antara khazanah Yunani kuno – khususnya yang terdapat pada Plato dan Aristoteles – dan khazanah Islam politik yang teralisasi melalui Daulah Islamiyah dan Syariat Islam . Hal ini tentu saja menarik sekali, sebab sebuah adigium mengatakan bahwa : “ Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, keduanya tidak bisa disatukan !”. Padahal, jika ditelusuri dengan seksama, negara-negara Timur ( Islam ) dengan mayoritas penduduknya muslim sekarang ini, meski menolak westernisasi - atau barangkali malu-malu mengungkapkan -, tak mampu menghindari arus global system Barat yang pelan-pelan telah menancapkan kukunya. Dalam perbankan dan ekonomi misalnya, system yang digunakan masih berbasis riba. Atau dalam pola pemerintahan, demokrasi adalah “dewa” yang selalu diagung-agungkan.

Kedua, ide-ide tentang politik dan pemerintahan yang tertuang dalam buku Al-Farabi ( Ara’ Ahlul Madinah al-Fadhilah ), ( as-Siyasah al-Madaniyah ), dan ( Fusulun Muntaziatun ) dipaparkan cukup detail dengan segala keistimewaannya dibandingkan dengan karya Plato dalam Republik-nya. Jika Plato dalam Republik-nya hanya menerangkan sistem negara dalam jumlah penduduk yang ketika itu hanya mencapai 400.000 jiwa, maka secara wajar gagasan Al-Farabi tidak terpaku pada wilayah tertentu seperti halnya Plato.

Indikasi ini bisa kita baca dalam pembagian Al-Farabi tentang komunitas manusia (Masyarakat) berdasarkan statistik jumlah individu dalam konsep kenegaraan. Menurut Al-Farabi komunitas manusia dalam konsep ketata-negaraan dibagi menjadi tiga golongan; masyarakat dalam jumlah yang besar, tengah-tengah dan kecil. Masyarakat dalam jumlah yang besar adalah komunitas manusia yang terdiri dari berbagai etnis yang bekerja sama demi mencapai kemaslahatan bersama. Masyarakat ini disebut sebagai Ummah. Kemudian disusul dengan tingkatan tengah-tengah dengan jumlah komunitas manusia yang lebih kecil dalam suatu wilayah yang lebih kecil pula. Sedangkan terakhir adalah komunitas manusia dalam jumlah paling kecil yang menempati suatu wilayah geografis tertentu. Tingkatan terkecil inilah yang oleh Al-Farabi dinamakan dengan Madinah. Dengan kata lain, Madinah menurut Al-Farabi adalah sebuah “negara kecil”.

Jelas sekali bahwa Al-Farabi disini membagi negara menjadi dua : Negara Internasional ( ad-daulah al-alamiyah ) dan negara nasional. Negara Internasional merupakan presentasi dari Daulah Islamiyah dalam sejarah Islam Politik. Sedangkan Negara Nasional atau Madinah adalah “negara bagian” dari system Khilafah Islamiyah atau Daulah Islamiyah ketika itu.

Oleh karenanya, Al-Farabi lebih terperinci dalam menyampaikan gagasannya dibandingkan Plato, meski tak dapat dinafikan bahwa ia terpengaruh oleh murid Socrates ini. Dan tentunya, gagasan Al-Farabi tentang tata negara dan kemasyarakatan, dibandingkan dengan Plato, lebih sesuai untuk ditransformasikan dan diterapkan diabad 21 ini.

Analisa-analisa filsafat Yunani yang diterimanya dari guru-gurunya atau yang dibacanya dari risalah-risalah Al-Kindi dan buku-buku filsafat yang sudah banyak diterjemahkan orang Arab sunguh mempengaruhi pemikiran Al-Farabi. Di antara aliran filsafat Yunani yang mempengaruhinya ialah filsafat Plato, Aistoteles dan Neo Platonisme.

Tiga ilmu lain yang dijelaskan oleh Al-Farabi dalam bagian akhir Ihsha’ Al-Ulum ialah masalah politik, yurisprudensi (fiqih) dan teologi (Kalam). Politik didefinisikan sebagai etika dan swakarsa yang terkait erat dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Yurisprudensi sebagai disiplin yang merumuskan “aturan main” dari firman-firman Allah saat rumusan perincianya belum ada. Dan Teologi sebagai seni memperteguh keyakinan dan kebenaran Ilahi, sekaligus mematahkan argument-argumen para penentangnya.

Dalam hal tema sentral ilmu politik Al Farabi, merupakan suatu tujuan untuk mencapai kebahagiaan. Tema ini menentukan sifat, ruang lingkup, fungsi dan tujuan dari ilmu politiknya. Al Farabi membagi ilmu ini menjadi dua bagian. Bagian yang petama berhubungan dengan berbagai jenis tindakan manusia dan jalan hidupnya dengan maksud memahami tujuan dan karakter moral manusia. Beliau menilai tujuan-tujuan itu berdasarkan pra anggapan bahwa tujuan puncak kehidupan manusia adalah kebahagiaan tertinggi. Dijelaskan pua bahwa kebahagiaan hakiki hanya dapat dicari melalui kebajikan dan kebaikan serta hal-hal yang luhur (mulia). Hal-hal yang luhur tersebut antara lain adalah kesehatan, kehormatan dan kesenangan rasa. Namun ketika hal-hal tersebut dijadikan satu-satunya tujuan dalam kehidupan ini, maka mereka tidak membentuk kebahagiaan hakiki (yang sebenarnya) tetapi masih hanya menjadi kebahagiaan dugaan belaka.

Dalam filsafat politik, menurut Al Farabi juga memiliki bagian praktis dan teoritis. Pertama, materi subjek ilmu politik berupa pengetahuan hasrati dan materi subjek filsafat teoritis adalah pengetahuan alami. Kedua, prinsip pertama ilmu politik adalah kehendak manusia atau pilihan sedangkan prinsip pertama filasafat teoritis adalah alam. Ketiga, tujuan filasafat teoritis adalah pengetahuan teori semata sedangkan tujuan dari ilmu politik adalah tindakan yang membawa realisasi kebahagiaan.
Ilmu politik teoritis berperan untuk memastikan sejauh mana berbagai ilmu dan seni dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai kesempurnaan puncak dalam kehidupan komunitas yang terorganisasi. Ilmu Politik juga harus menetapkan bagaimana sebaiknya pengembangan ilmu dan seni-seni yang utama dapat dilakukan. Dalam menjalankan peran di atas, ilmu politik teoritis memprasyaratkan pengetahuan yang dikembangkanoleh masing-masing seni atau ilmu. Selain itu, ilmu politik adalah apa yang disebut oleh Aristoteles sebagai “seni paling otoritatif dan merupakan seni ‘penguasa’ yang paling hakiki”.

Bagian praktis dari ilmu politik Al Farabi terutama merujuk pada politik semata (siyasah). Ia dikaitkan dengan dengan jenis-jenis kepemimpinan yang luhur dan tak luhur, atau bidang-bidang pemerintahan. Bagian ini juga menguraikan factor-faktor yang dapat mengubah pemerintahan yang jujur dan cara hidup yang luhur menjadi pemerintahan yang korup dan cara hidup yang lalai. Ilmu politik praktis sekaligus menetapkan ukuran-ukuran praktis guna mencegah pergeseran ini. Beliau juga menetapkan langkah-langkah yang digunakan untuk memperbaiki kembali pemerintahan dan cara hidup yang luhur dari keadaan sebelumnya ketika mereka telah berubah menjadi pemerintahan yang menyeleweng dengan cara hidup yang bodoh. Ilmu polotik praktis juga berkaitan dengan elemen-elemen mendasar yang membentuk pemerintahan luhur. Ia juga berurusan dengan sejenis pendidikan politik dan suksesi guna menjadi karakter mulia suatu komunitas manusia melalui undang-undang.

Ilmu Politik Al Farabi hubungkan dengan perubahan, transformasi dan dedikasi social. Fenomena ini dipahami berdasarkan suatu konsep yang didefinisikan secara jelas tentang suatu masyarakat dan tatanan sosio-politik sempurna, yang dididentifikasikan dengan masyarakat yang secara orisinal dibangun dan ditegakkan oleh sosok manusia sempurna. Unsure penting ilmu politik Al Farabi lainnya adalah posisi ilmu etika dalam hubungannya dengan ilmu politik tersebut. Al Farabi tidak menyebut-nyebut etika dalam pembagian ilmu politiknya, tetapi etika secara jelas merupakan suatu subbagian dari bagian pertama. Definisinya tentang politik murni (al falsafah al siyasah) memperlihakan bahwa ilmu ini seharusnya diidentifikasi dengan bagian kedua dari ilmu politiknya.

C. KONSEP NEGARA AL FARABI
1. Masyarakat
Al Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial makhluk yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat, karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan pihak lain. Adapun tujuan bermasyarakat menurut Al Farabi yaitu tidak hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tetapi juga untk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan. Kebahagiaan materiil dan juga kebahagiaan spiritual, tidak hanya di dunia fana ini melainkan juga di kherat kelak.
Adanya Rakyat
Pendapat Al Farabi tentang tujuan hidup bermasyarakat atau bernegara itu memperlihatkan pengaruh keyakinan agamanya sebagai seorang Islam di samping pengaruh tradisi Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dengan moralitas, akhlak atau budi pekerti. Dari kecenderungan manusia untuk bermasyarakat, lahirlah berbagai macam masyarakat, yaitu:
a. masyarakat sempurna
menurut Al Farabi terdapat tiga macam masyarakat yang sempurna,yaitu:
1. masyarakat sempurna besar yaitu gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerjasama.adalah perserikatan bangsa-bangsa atau dengan kata lain Internasional
2. masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi ini. wujud dari Negara-Nasional
3. masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota.adalah Negara-Kota.
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Al Farabi berpendapat di antara tiga macam masyarakat sempurna tersebut maka Negara kota merupakan system atau pola politik yang terbaik dan terunggul. Beberapa pengamat sejarah ilmu politik Islam menganggap aneh pendapat Al Farabi itu, oleh karena pada waktu itu dia hidup pada Negara nasional, yang masing-masing terdiri dari banyak kota dan desa serta berwilayah luas. Tetapi Al Farabi tidak seorang diri dalam hal itu. Aristoteles juga menganggap bahwa bahwa Negara kota merupakan kesatuan politik yang terbaik di Yunani meskipun waktu itu Yunani sudah menjadi daerah jajahan Macedonia dan system Negara kota sudah tidak berfungsi lagi. Dalam pada itu pendapat Al Farabi ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dalam idealisasi pola politik dia tidak menghiraukan kenyataan-kenyataan politik tempat dia hidup.

b. Mayarakat yang tidak sempurna
Adapun masyarakat-masyarakat yang tidak atau belum sempurna menurut Al Farabi adalah penghidupan social di tingkat desa, kampong, lorong dan dalam keluarga, dan di antara tiga bentuk pergaulan yang tidak atau belum sempurna itu, maka kehidupan social di dalam rumah atau keluarga merupakan masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat lorong, masyarakat lorong merupakan bagian dari masyarakat kampong dan masyarakat kampong merupakan bagian dari masyarakat Negara kota. Terbentuknya kampong dan desa keduanya diperlukan oleh Negara kota. Hanya bedanya, kampong merupakan bagian dari Negara kota, sedangkan desa hanya merupakan pelengkap untuk melayani kebutuhan Negara kota. Tampaknya Al Farabi menganggap bahwa tiga unit pergaulan social tersebut tidak merupakan masyarakat-masyarakat yang sempurna karena tidak cukup lengkap untuk swasembada dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan para warganya, baik kebutuhan ekonomi, social, budaya dan spiritual.
Oleh karenanya Al-Farabi pernah membagi elemen-elemen masyarakat dalam Madinah Al-Fadhilah menjadi enam bagian berdasarkan kemampuan :
a. Al-Afadhil ( orang-orang unggul ) yaitu para ahli hikmah atau filsfat ( hukama ) dan para konseptor dalam masalah-masalah besar.
b. Dzawul Alsinah ( Jago Bicara ) dan Pembawa Ajaran Agama ( Hamalatu Ad-dien ). Golongan ini adalah para khotib, para penyair, musikus, penulis dan yang semisalnya.
c. Al-Muqoddirun ( Profesional ) yaitu semisal Banking, Accountan, Insinyur, dokter dan semisalnya.
d. Al-Mujahidun ( Para Pembela ) yaitu semisal tentara, polisi dan semisalnya.
e. Al-Maaliyun yaitu orang-orang yang menghasilkan uang di Madinah Al-Fadhilah ini semisal petani, penggembala, pedagang dan semisalnya.
2. Negara
Al-Farabi mengemukakan bahwa Madinah Al-Fadhilah seumpama badan yang sehat dan sempurna. Dan setiap anggota badan ini mempunyai tabiat serta keistimewaan dan keunggulan yang berbeda-beda. Setiap anggota badan ini saling membantu berdasarkan sistem simbiosis-mutualisme. Namun demikian, ada satu anggota badan yang berfungsi sebagai penggerak utama yaitu hati ( Al-Qolb ). Al-Qolb disini adalah analogi dari seorang pemimpin ( ar-rais ).
Perumpamaan ini mirip dengan Hadis Nabi Saw. yang telah dikemukakan diatas bahwa seorang mukmin laksana satu jasad. Sedangkan perumpamaan hati sebagai pemimpin sejalan dengan Hadis Nabi Muhammad Saw. yang menyatakan bahwa didalam tubuh ada seonggok daging, jika ia baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh, namun jika ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan, seonggok daging ini adalah hati ( Al-Qolb ).
Seiring dengan pendapatnya bahwa kesempurnaan masyarakat terletak pada Negara-kota. Maka pusat perhatian Al Farabi terletak seputar pada Negara-kota yang merupakan kesatuan politik yang terbaik. Negara-kota ini bias kita kaitkan sebagai sebuah pemerintahan, karena didalamnya menjelaskan sebuah praktek birokasi Negara yang dihubungklan dengan pengaruh masyarakat. Dalam hal ini Al Farabi membagi Negara-Kota atau pemerintahan menjadi beberapa Negara, ,yaitu :
a. Negara Utama
Sebuah Negara bias dikatakan Utama jika penduduknya selaian mengenal kebenaran dan keutamaan, juga hidup sesuai tuntunan kebenaran dan keutamaan. Negara Utama menurut Al Frabi diibaratkan sebagai sebuah tubuh manusia yang utuh dan sehat, yang semua organ dan anggota badannya bekerja sama sesuai dengan tugas masing-masing yang terkoordinasi rapi demi kesempurnaan hidup tubuh tersebut. Tubuh manusia mempunyai sejumlah organ atau anggota badan dengan berbagai fungsi yang berbeda satu sama lain dengan kadar kekuatan dan tingkat kepentingan yang berbeda. Namun dari sekian banyak organ yang ada tersebut terdapat satu organ yang paling penting dan mementukan , yakni jantung. Di luar tersebut terdapat sekelompok organ lain yang kerjanya membantu dan melayani jantung, organ inilah yang menduduki peringkat kedua. Kemudian terdapat sekelompok organ yang lain yang lagi yang tugasnya melayani organ-oragan peringkat kedua tadi dan demikian seterusnya sampai kepada anggota-anggota badan yang tugasnya hanya melayani anggota-anggota tubuh yang lain sampai tidak ada yang melayani.
Demikian pulalah dengan sebuah Negara yang pastinya mempunyai warga-warga dengan bakat dan kemampuan yang berbeda. Di antara mereka terdapat seorang kepala Negara atau Pemerintahan dan sejumlah warga yang martabatnya mendekati martabat kepala Negara. Kesemuanya itu mempunyai bakat dan keahlian untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebijaksanaan Kepala. Kepala Negara ini yang termasuk peringkat pertama, sedangkan sekelompok warga yang tuganya membantu peran Kepala Negara ini termasuk peringkat kedua. Kemudian di bawah mereka terdapat kelompok lain lagi yang bertugas membantu peran dari dari kelompok kelas yang ada di atasnya, dan terus demikian sampai kepada kelas terakhir dan terendah yang terdiri dari warga-warga yang tugasnya dalam Negara itu hanya melayani kelas-kelas lain sampai merekapun tidak ada lagi yang melayani.
Tampak jelas bahwa pendapat Al Farabi tentang komposisi dan klasifikasi warga Negara itu diwarnai oleh pandangan Plato, padahal Plato sendiri sebagai seorang filosof dari Yunani Purba yang hendak berfikir serba rasional tidak behasil mencarikan dasar rasional bagi teorinya yang membagi warga Negara ke berbagai lapisan. Untuk mendukung pendapatnya dengan terus terang dia memerlukan sebuah “kebohonga agung”. Bagian terpenting dari sebuah kebohongan tersebut adalah dogma bahwa “Tuhan telah menciptakan tiga macam manusia, manusia terbaik terbuat dari emas, manusia terbaik kedua terbuat dari perak dan manusia terbaik ketiga terbuat dari kuningan dan besi.
Walaupun dalam praktik kerajaan-kerajaan Islam dalam sejarah sering dikemukakan bahwa yang paling berkuasa adalah raja tetapi tidak banyak para pemikir muslim yang berpendapat bahwa dalam Islam itu mempunyai kekuasaan tertinggi itu adalah Raja. Sepanjang penelitian hanya Al Farabi yang berpendapat bahwa dalam Negara Islam yang bedaulat adalah Raja. Al Farabi mengatakan “rais” sebagai pemegang kedaulatan harus satu, yang mempunyai bakat dan dapat membimbing darah keturunan untuk mengawasi dan dapat menyampaikan perasaannya kepada orang lain. Al Farabi mengkritik pakar di masa Yunani yang membuat cita-cita ideal dari Negara sedemikian tinggi sehinga sulit bagi manusia untuk memenuhi yang mengakibatkan orang harus memilih Tuhan sebagai penguasa.
Sesuai dengan teorinya bahwa penghuni Negara itu terbagi dalam banyak kelas, Al Farabi berpendapat bahwa tidak semua warga Negara mampu dan dapat menjadi kepala Negara. Hanya manusia yang sempurnalah yang bias menjadi kepala Negara. Jika kita tinjau lebih jauh lagi mengapa Al Farabi bias terbawa untuk mengikuti paham pikiran Plato tentang pembagian warga Negara, padahal sebagi seoang ilmuwan Islam tentunya mengetahui bahwa Islam megajarkan prinsip persamaan. Maka akan lebih heran lagi kalau teori Al Farabi muncul urutan atau pemisah antara
Kepala Negara dan rakyat.
Menurut Al Farabi sebaiknya kepala Negara diadakan terlebih dahulu. Kemudian barulah rakyat yang nantinya akan dikepalainya. Bukankah jantung itu terbentuk lebih dahulu, kemudian jantunglah yang yang merupakan sebab terbentuknya organ-organ tubuh yang lain. Jantung pulalah yang menjadi sebab tumbuhnya kekuatan dan energi bagi organ-organ itu. Dan apabila terdapat organ yang tidak bekerja baik atau rusak maka jantung mempunyai wahana untuk menghilangkan ketidakbaikan atau kerusakan. Demikian juga halnya dengan kepala Negara. Ia seyogyanya ada dahulu, kemudian darinya terbentuklah Negara dan bagian-bagian atau rakyatnya dan dia pulalah yang menentukan wewenang, tugas dan kewajiban serta martabat atau posisi masing-masing warga Negara. Dan jika ada warga Negara yang tidak baik, kepala Negara dapat menghilangkan ketidak baikan tersebut. Dari pandangan beliau ini menandakan bahwa Al Farabi memang tidak bermaksud memperbaiki pola atau situasi politik yang ada, tetapi membayangkan untuk mencetak Negara yang sama sekali baru dan dari awal.
b. Negara yang bodoh.
Merupakan Negara yang rakyatnya tidak tahu tentang kebahagiaan dan tidak terbayang pada mereka apa kebahagiaan itu. Kalau dituntun mereka tidak mau mengikuti dan kalau diberi tahu tidak mau percaya. Banyak ragam dari Negara bodoh ini, yaitu:
a). Negara Kemestian (necessary city)
Para penduduk Negara ini tidak peduli pada watak sejati kebahagiaan. Mereka berkumpul sekedar untuk menangguk kebahagiaan materiil dan memenuhi kebutuhan primer. Sehingga rakyatnya hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan hidup seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan jodoh.
b). Kota Kehinaan
Merupakan Negara yang di dalamnya para penduduknya mencukupkan diri dengan kekayaan dan kepemilihan materiil. Sehingga apa yang menjadi aktivitas masyarakat hanya terpusat pada kerjasama untuk meningkatkan kemudahan-kemudahan materi dan penumpukan kekayaan.
c). Kota Kebejatan
Merupakan Negara yang di dalamnya yang ada hanyalah kenikmatan yang menjadi sebuah tujuan utamanya. Sehingga tujuan hidup rakyatnya hanya untuk menikmati makanan, minuman, seks dan hiburan semata.
d). Negara Ningrat (timokration)
Negara yang hanya mengutamakan kehormatan gengsi dan public. Sehingga yang menjadi tujuan hidup rakyatnya hanya untuk dihormati, dipuji, dan tersohor dalam pergaulan antar bangsa.
e). Negara Tirani (despotis)
Merupakan Negara yang di dalamnya penaklukan atau dominasi menjadi dambaan para penduduknya. sehingga apa yang menjadi perhatian rakyatnya terpusat pada nafsu untuk menaklukkan Negara-Negara lain dan bangga dapat menguasai Negara-Negara tetangga.
f). Negara Liberal
Merupakan Negara yang di dalamnya kebebasan individu menjadi tujuan utama meskipun berujung pada pelanggaran hukum dan anarkisme. Dimana masing-masing dari rakyat menikmati kebebasan untuk berbuat sekehendaknya yang akan berakibat timbulnya anarki.
c. Negara Rusak
Merupakan Negara yang rakyatnya tahu apa kebahagiaan itu, sama halnya dengan rakyat di Negara yang utama, namun mereka berperilaku dan hidup seperti rakyat di Negara yang bodoh. Dengan kata lain mereka tahu tentang hal-hal yang baik, tetapi yang mereka lakukan perbuatan-perbuatan yang hina.
d. Negara Merosot
Merupakan Negara yang rakyatnya mempunyai pandangan hidup dan perilaku rakyat di Negara Utama, namun kemudian berubah dan terjerumus ke dalam kehidupan yang tidak terpuji lagi.
e. Negara Sesat
Merupakan Negara yang diliputi oleh kesesatan, penipuan dan kesombongan. Rakyatnya tidak percaya akan adanya Tuhan dan sebaliknya kepada Negara menipu rakyatnya dengan pengakuan bahwa dia menerima wahyu dari Tuhan. Sehingga rakyat harus mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukannya sebagaiamana mereka mengikuti apa yang dikatakan dan dilakukannnya. Yang terakhir adalah “rumput-rumput jahat” yang mungkin terdapat dalam tubuh Negara Utama sekalipun. Yang dimaksudkan dengan “rumput-rumput jahat” itu ialah orang-orang atau unsur-unsur yang rendah budi pekertinya, manusia berwatak liar dan tanpa budaya yang dapat mengganggu keserasian kehidupan masyarakat di Negara Utama.
Pemimipin
Menurut Al Farabi kepala Negara Utama haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana yang memiliki dua belas kualitas luhur yang sebagian telah ada pada pemimpin itu sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri,. Namun sebagian yang lain masih perlu ditumbuhkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh dengan disiplin ketat. Oleh karena itu pembinaan dan pembentukan pribadi calon-calon pemimpin melalui pengajaran, pendidikan, pengamatan dan pengawasan amat diperlukan. Bagi Al Farabi pemimipin Negara itu bolehlah seorang filusof yang mendapatkan kemakrifatan melalui pikiran dan rasio dan dapat juga seorang yang mendapatkan kebenarannya lewat wahyu.
Secara kodratnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak mampu berdiri sendiri, oleh karenanya ia tidak mungkin menggapai kesempurnaan ( kebahagiaan ) tanpa bergabung dan berafiliasi dalam bentuk perkumpulan yang disebut sebagai masyarakat. Demikian Al-Farabi pernah menyatakan.
Dari uraian singkat diatas, kiranya masih banyak gagasan dan konsep Al-Farabi dalam Madinah Al-Fadhilah-nya yang bisa ditransformasikan kearah riil untuk mencari format masyarakat muslim ideal dalam Madinah Al-Fadhilah abad 21.
Diantara konsep-konsep yang masih relevan dalam Madinah Al-Fadhilah itu ialah
1. Konsep Cinta ( Al-Mahabbah ). Konsep ini dijelaskan dengan Hadis Nabi Saw yang sudah diterangkan diatas. Atas dasar cinta inilah akan tercipta masyarakat yang saling tolong menolong dan bekerja sama secara dinamis.
2. Konsep Keadilan ( Al-adl ). Untuk menopang konsep cinta diperlukan keadilan. Sebagaimana yang disinyalir Al-Qur’an dalam surat An-Nisa’ : “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan ( menyuruh kamu ) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” ( an-Nisa’ :58 ).
3. Konsep Kepemimpinan. Keadilan yang disebutkan ayat diatas, hakekatnya adalah berkaitan dengan kepemimpinan ( Ulil Amri ). Para pemimpin itu dituntut untuk mengadakan MoU dengan rakyatnya. Butir-butir kesepakatan itu adalah para pemimpin untuk menjalankan amanat yang dibebankan kepadanya serta berlaku adil. Sementara rakyat mentaati para pemimpin yang adil itu. Dan untuk mendapatkan pemimpin yang unggul diperlukan sistem yang bisa menghasilkan seorang pemimpin yang kapabel.
Setidaknya ada 12 syarat yang harus dipenuhi untuk memegang pucuk kepemimpinan Madinah Al-Fadhilah:
1. lengkap anggota badannya.
2. baik daya pemahamannya.
3. tinggi intelektualnya.
4. pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti urainnya.
5. cinta pendidikan dan gemar mengajar.
6. tidak rakus dan tamak dalam dunia materi.
7. mempunyai sifat yang jujur dan membenci kedustaan.
8. berjiwa besar dan berbudi luhur.
9. tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi.
10. pecinta keadilan dan membenci perbuatan dzalim.
11. tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau tindakan keji dan munkar.
12. kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan penuh keberanian, tinggi kemauannya, tidak penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.
Oleh karena itu sangat jarang sekali ada orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut. Namun jikalau terdapat lebih dari satu, maka yang dianggakat menjadi kepala Negara seorang saja. Tetapi kalau tidak ada seorangpun yang memenuhi persyaratan untuk menjadi pemimpin, maka dapat dipukul secara kolektif antara sejumlah warga yang termasuk kelas pemimpin. Misalnya seorang pemimpin tersebut dipegang oleh seorang yang mempunyai kebijaksanan dan kearifan. Para angotanya di pegang oleh seorang yang mempunyai kecintaan dalam hal keadilan, seorang pemikir yang tangguh, seorang pembicara ulung, seorag ahli ilmu perang dan sebagainya. Namun, dengan catatan bahwa kalau terdapat cukup jumlah warga Negara yang memiliki kearifan, maka Negara itu tetap tidak mempunyai raja, padahal suatu Negara tanpa raja tidak akan tahan lama dan akan mengalami kehancuran. Bagi Al Farabi kepala yang memimpin Negara Utama itu adalah sekaligus seorang guru sekaligus, penuntun kebenaran. Karena tidak semua orang secara fitri mengetahui tentang cara mencapai kebahagiaan dan tidak semua orang mengerti tentang hal-hal yang harus atau perlu diketahui. Oleh karena itu dibutuhkan adanya seoang yang bias memberikan suatu pencerahan hidup.
Dari sekian persyaratan seorang pemimpin yang di utarakan Al Farabi, tentunya seorang itu harus mempunyai keistimewaan bias berkomunikasi dengan akal kesepuluh, pengatur bumi dan penyampai wahyu. Oleh karena itu orang yang paling ideal sebagai kepala Negara adalah nabi/Rasul atau seorang filosuf. Akal kesepuluh merupakan akal terakhir dalam rangkaian proses emanasi. Dalam faham Al Farabi, Akal Kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat.




















BAB VI
KESIMPULAN
Nama lengkap Al Farabi adalah Abu Nashar bin Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan bin Unzalagh Al Farabi. Beliau termasuk tokoh filsafat yang terbesar di dunia Islam. Beliau lahir di suatu kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk kawasan Turkistan. Lahir pada tahun 257 H atau 870 M.
Konsep Negara menurut Al Farabi, ialah:
1. Masyarakat


Dari segala pemikiran Al Farabi terlihat jelas bahwa dalam filsafatnya itu menekankan pemberdayaan manusia salam satu Negara sesuai dengan spesialisasi dan kemampuanya. Warga Negara harus rela berkorban untuk kepentingan bersama dan juga untuk kepentingan Negara. Dengan kata lain, saling membantu dan bekerja sama bukan hanya antar warga, tetapi juga antara Negara dan warganya. Dilihat dari sisi ini berarti Al Farabi menepiskan untuk Negara Kapitalis dan Sosialis Komunis.

Memang dalam menetapkan criteria sifat kepala Negara dan Pemerintahan Al Farabi terpengaruh oleh filosof terkenal asal Yunani yaitu Plato. Akan tetapi, pada dasarnya terdapat perbedaan yang mendasar antara mereka. Plato menekankan kepala Negara larut dalam hal kejasmanian semata. Sementara Al Farabi selain juga menekankan kepala Negara focus kepada hal kejasmanian, juga lebih menekankan hidup dalam alam spiritual. Selain itu beliau menambahkan bahwa kepala Negara harus mampu berhubungan dengan Akal Kesepuluh. Sehingga ada yang menyebutkan bahwa Al Farabi adalah Plato dalam mantel Nabi Muhammad SAW.